Padahal, persoalan ini sudah diantisipasi dengan penggunaan data tunggal agar terhindar dari tarik-menarik kepentingan. Menurut dia, persoalan cadangan beras pemerintah seharusnya dapat diantisipasi lebih baik dengan melakukan beberapa perubahan kebijakan. Pertama, perubahan soal harga pembelian pemerintah atau HPP beras dan gabah. Ia menilai HPP sudah tidak relevan dan harus segera direvisi.
Dengan harga dan persyaratan pembelian gabah dan beras yang berlaku saat ini, petani lebih memilih menjual komoditasnya ke tengkulak ketimbang pada Bulog. Bulog juga seharusnya bisa bekerja sama dengan koperasi-koperasi petani untuk merancang skema penyerapan beras. Namun hal ini hanya bisa terjadi setelah HPP mencerminkan harga yang adil baik bagi petani maupun pemerintah.
Kedua, ketersediaan lahan pangan di Indonesia. Saat ini Indonesia dihadapkan pada laju konversi lahan pangan yang masif. Oleh karena itu perlu upaya serius untuk mempertahankan lahan pangan yang ada.
“Benar ada UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, tapi ini implementasinya sangat lambat,” tutur Mujahid. Ia pun membandingkan dengan lahan perkebunan sawit yang mencapai 20 juta hektare, sementara lahan pangan hanya sebesar 7 juta hektare.
Penggunaan beras impor
Pernyataan Mujahid menanggapi keputusan pemerintah mengimpor 200 ribu ton beras komersial. Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyebutkan kondisi cadangan beras pemerintah tiris sehingga harus segera ditambah dengan beras impor untuk mengantisipasi kondisi darurat.
“Cadangan pangan ini harus ada dan tidak dikeluarkan secara bebas, hanya digunakan untuk beberapa kegiatan Pemerintah,” ujar Arief melalui keterangannya.
Stok beras impor itu rencananya hanya akan digunakan pada kondisi tertentu seperti, penanggulangan bencana, intervensi harga jika diperlukan, dan beberapa kegiatan pemerintah lainnya. Penggunaannya pun akan diawasi secara ketat untuk memastikan tidak ada yang masuk ke pasar.
Pemerintah kemudian berjanji bahwa beras impor itu tidak akan mengganggu hasil panen petani. Pasalnya, hanya digunakan untuk kegiatan pengendalian harga dan pemenuhan pangan di tengah kondisi darurat atau bencana melalui Perum Bulog.
Adapun impor beras komersial tersebut dilakukan untuk memenuhi persediaan hingga akhir tahun ini. Selanjutnya, pemerintah melalui Bulog akan menyerap hasil panen dalam negeri pada Februari hingga Maret 2023 hingga stok Bulog mencapai 1,2 juta ton sesuai target. “Kita pastikan betul beras komersial ini tidak akan mengganggu beras dalam negeri produksi petani,” ujar Arief.